T
|
ERCETUSNYA ide pembuatan robot ikan bukan hanya dari keinginan
meniru pola perilaku hewan seperti yang dilakukan robot lain seperti robot
anjing, laba-laba, belalang, atau ular. Tetapi juga merupakan bagian dari
proyek kendaraan bawah air (underwater
vehicle) yang bertujuan mencari
pengganti pendorong baling-baling yang bising dengan pendorong alternative
berupa sirip ekor ikan yang relative tidak bising.
Perkembangan
kendaraan air berpendorong sirip ikan ini merupakan topik menarik. Bukan hanya
bagi dunia pendidikan tetapi juga kepentingan militer seperti untuk eksplorasi
kekayaan bawah laut dan pemantauan wilayah lautan dengan wahana tanpa awak (unmanned).
Peneltian
robot ikan merupakan projek pengembangan robot ikan pertama di Institut
Teknologi Bandung (ITB). Penelitian pertama ini dilakukan Yeffry Handoko Putra,
promovendus yang juga staf pengajar Unikom yang mendapatkan beasiswa Sandwitch
DIKTI untuk studi Banding ke Universitas Essex, Colchester UK selama tiga tahun
di bidang sensor robot ikan. Hasilnya, berupa disertasi yang berjudul
“Pengembangan Robot Ikan dengan Kemampuan Mengenali Kerumunan Ikan Lain”.
Tulisan berikut semacam ringkasan disertasi yang disampaikan pada siding doktor
di ITB Bandung beberapa waktu lalu.
Penelitian
mengenai sensor untuk robot ikan, menurut Yeffry, diawali dengan sensor untuk
menghindari rintangan, lalu berkembang dengan sensor lingkungan (eksternal)
lain seperti sensor untuk mengejar target (cahaya, warna), kedalaman, temperature,
kadar garam, dan zat kimia lainnya. Sementara internal adalah sensor tekanan
air, kemiringan (tilt sensor), dan
posisi.
Dari beberapa
sensor lingkungan terdapat bidang kajian yang belum banyak dilakukan yaitu
sensor yang memungkinkan robot ikan bisa mengenali adanya ikan alami dan
membedakannya dengan objek bukan ikan, bahkan pada tahap berikutnya bisa lebih
spesifik melakukan klasifikasi jenis ikan. Untuk dua hal terakhir inilah, Yerry
melakukannya.
Pada dunia
nelayan dan kelautan, pendeteksian adanya ikan diarahkan pada pencarian lokasi
kerumunan ikan. Kemampuan lokalisasi dan pemetaan (mapping) dari kerumunan ikan dilakukan dengan fish finder yang dipasang pada bagian bawah kapal yang sedang
bergerak di permukaan air. Kedalaman deteksi bisa mencapai 1.000 meter di bawah
air.
Sementara pada
robot ikan dan kendaraan bawah air belum ada penelitian yang mencatat adanya
penemuan sensor yang mampu mengenali jenis ikan. Hal ini, menjadi inspirasi
pada penelitian yang dilakukan Yeffry.
Pengembangan robot
Perkembangan
robot ikan dapat dilihat dari beberapa penelitian di beberapa Negara seperti
Jepang, Amerika, Inggris, China, dan Swiss. Tingkat kepesatannya relative sama
dengan robot-robot hewan lain yang dikhususkan untuk hiburan. Sementara untuk
penelitian perkembangan robot ikan berkembang secara horizontal.
Robot ikan
yang dikembangkan akhir-akhir ini sudah memiliki kemampuan dasar, seperti
menghindari rintangan yang dibuat oleh Hirata pada tahun 2000, menyelam dan
berenang bebas tanpa target (mengembara), bersosialisasi dengan robot ikan
lain.
Setiap ikan
memiliki mode berenang yang unik tetapi pada umumnya dapat digolongkan menjadi
empat mode, yaitu gerak luncur (thrust),
mode gaya belok (turning), mode diam
(hovering), dan mundur. Setiap mode
ini memiliki variasi gabungan sesuai dengan cirri khasnya masing-masing tetapi
kedua mode terakhir biasanya tidak memiliki variasi.
Pada pemodelan
robot ikan yang dikembangkan Yeffry adalah dengan menggunakan system percepatan
dengan dengan memodifikasi bentuk kepekaan ekor menjadi osilasi teredam dan
menciptakan gerakan melesat dan memberikan kecepatan awal yang cepat (HIS = high initial speed). Gerakan ini memberikan percepatan yang
meningkat meskipun kecepatan luncur tidak secepat mode osilasi teredam.
Ada tiga
permodelan robot ikan yang dikembangkan pada penelitian ini. Meskipun memiliki
bentuk yang berbeda, berat berbeda, tetapi terdapat kesamaan ketiga model,
yakni mengapung di permukaan air dan pendorongnya hanya sirip ekor dengan
pengujian kecepatan masing-masing mode, gaya dorong robot ikan, hubungan
kecepatan dan frekuensi kepekaan ekor, dan gaya dorong setelah mekanisme
percepatan.
Deteksi kerumunan
Dari analisis
yang diberikan pada setiap pengujian dan pengamatan serta dengan membatasai
ruang lingkup pada air tenang, dapat ditarik kesimpulan, terdapat hubungan
antara frekuensi, kepakan ekor, dan kecepatan luncur arah maju yang dapat
dinyatakan dengan persamaan empiris. Permodelan percepatan menjadi beralasan
dengan adanya kecepetan awal yang besar yang ditunjukkan oleh persamaan
kecepatan luncur terhadap frekuensi kepakan.
Dari hasil
pengujian diperoleh kesimpulan, kerumunan ikan dapat dideteksi dan
diklasifikasi menggunakan cirri khas hasil ekstraksi dari pemantulan sinyal
ultrasonic. Presentasi tertinggi untuk pendeteksian adalah 100 persen dan untuk
klasifikasi 945. nilai pengenalan dan klasifikasi ini diperoleh dari dua jenis
ikan yang diamati.
Keberhasilan
deteksi dan klasifikasi jenis kerumunan ikan berkurang dengan bertambahnya
kecepatan robot ikan mendekati kerumunan.
Hal ini menurut Yeffry disebabkan terjadinya kecepatan ikan minimum yang
disebabkan oleh beberapa ikan menjauh dari areal penginderaan sensor.
Keberhasilan deteksi terendah sebesar 50 persen pada kecepatan robot ikan 20
cm/s, sedangkan klasifikasi terendah sebesar 40 persen terjadi pada kecepatan
robot ikan 12 cm/s.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar